SAYA terpaksa menanggapi dan mengoreksi pernyataan Presiden Jokowi
menyangkut utang Indonesia ke IMF. Kemarin, tanggal 27 April 2015,
harian Rakyat Merdeka memuat pernyataan Pak Jokowi yang intinya
adalah Indonesia masih pinjam uang sama IMF. Berarti kita masih punya
utang kepada IMF. Maaf, demi tegaknya kebenaran, saya harus mengatakan
bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada tahun
2006 yang lalu.
Keseluruhan utang Indonesia terhadap IMF adalah US$ 9,1
miliar, jika dengan nilai tukar sekarang setara dengan Rp. 117 triliun,
dan pembayaran terakhirnya kita lunasi pada tahun 2006, atau 4 tahun
lebih cepat dari jadwal yang ada. Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien
IMF.
Saya masih ingat mengapa keputusan untuk melunasi semua utang IMF 4
tahun lebih cepat dari jatuh temponya itu saya ambil. Memang, sebelum
keputusan final itu saya ambil, sejumlah pihak menyarankan agar lebih
baik pelunasannya dilaksanakan secara bertahap, agar tidak mengganggu
ketahanan ekonomi Indonesia. Tapi saya berpendapat lain. Lebih baik
kalau utang itu segera kita lunasi. Ada 3 alasan saya mengapa keputusan
dan kebijakan itu saya ambil. Pertama, pertumbuhan ekonomi kita waktu
itu telah berada dalam tingkatan yang relatif tinggi. Jadi aman untuk
menjaga ketahanan ekonomi makro dan sektor riil kita. Di sisi lain,
disamping kekuatan fiskal kita aman, dari segi moneter cadangan devisa
kita juga relatif kuat. Kedua, dengan telah kita lunasi utang IMF
tersebut, kita tidak lagi didikte oleh IMF dan negara-negara donor.
Tidak didikte dalam arti perencanaan pembangunan kita, termasuk APBN dan
juga penggunaan keuangan kita, tidak harus mendapatkan persetujuan dari
IMF. Saya tidak ingin pemerintah disandera. Kita harus merdeka dan
berdaulat dalam mengelola perekonomian nasional kita. Saya masih ingat,
ketika masih menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (tahun 1999-2000),
saya harus “melaporkan” dulu kepada negara-negara donor yang tergabung
dalam forum CGI berkaitan dengan kebijakan dan rencana kementerian yang
saya pimpin, utamanya menyangkut APBN. Situasinya sungguh tidak nyaman.
Pernah saya diminta untuk menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik
secara serentak dengan angka yang sangat tinggi. Hal itu saya tolak,
karena pasti ekonomi rakyat akan menjadi lebih buruk. Sedangkan alasan
yang ketiga, selama Indonesia masih punya utang kepada IMF, rakyat kita
merasa terhina (humiliated). Dipermalukan. Di mata sebagian rakyat, IMF
diidentikkan dengan penjajah. Bahkan IMF-lah yang dianggap membikin
krisis ekonomi tahun 1998 benar-benar buruk dan dalam.
Setelah utang IMF kita lunasi, saya juga ingat ketika para pemimpin
IMF (Managing Director) satu-persatu berkunjung ke Indonesia dan menemui
saya di kantor Presiden, mulai dari Rodrigo de Rato (2007), Dominique
Strauss-Kahn (2011) hingga Chistine Lagarde (2012). Saya menerima
kunjungan mereka dengan kepala tegak. Bahkan, pada kunjungan pemimpin
IMF tahun 2012, IMF berharap Indonesia bisa ikut menaruh dananya di IMF
karena kita telah menjadi anggota G20, dengan peringkat nomor 16 ekonomi
besar dunia. Pasalnya, IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu
negara yang mengalami krisis berat dan perlu penyelamatan dari IMF.
Artinya, tangan kita tidak lagi berada di bawah, tetapi sudah berada di
atas.
Jika yang dimaksudkan Presiden Jokowi, Indonesia masih punya utang
luar negeri, itu benar adanya. Utang Indonesia ada sejak era Presiden
Soekarno. Meskipun, ketika saya memimpin Indonesia (2004-2014) rasio
utang terhadap GDP terus dapat kita turunkan. Jika akhir tahun 2004
rasio utang terhadap GDP itu sekitar 50,6 %, di akhir masa jabatan saya
tinggal sekitar 25 %. Artinya, jika dulu separuh lebih GDP kita itu
untuk menanggung utang, maka tanggungan itu telah kita turunkan menjadi
seperempatnya. Tetapi, kalau yang dimaksudkan Pak Jokowi bahwa kita
masih punya utang kepada IMF, hal itu jelas keliru. Kalau hal ini tidak
saya luruskan dan koreksi, dikira saya yang berbohong kepada rakyat,
karena sejak tahun 2006 sudah beberapa kali saya sampaikan bahwa
Indonesia tidak berhutang lagi kepada IMF. Rakyat pun senang
mendengarnya. Saya yakin Pak Jokowi yang waktu itu sudah bersama-sama
saya di pemerintahan, sebagai Walikota Surakarta, pasti mengetahui
kebijakan dan tindakan yang saya ambil selaku Presiden.