NIATAN untuk meninggalkan IMF (International Monetary Fund) dan Bank
Dunia dinilai hanya sebatas retorika. Legislator dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Ecky Awal Mucharam menyatakan Presiden RI Joko Widodo
yang di forum peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta, belum
lama ini, berteriak agar meninggalkan IMF dan Bank Dunia, ternyata
mengambil pinjaman dan Tiongkok sebesar Rp647 Triliun.
Ecky yang juga anggota Komisi XI DPRRI ini meminta pemerintah RI
untuk berhati-hati melakukan kerjasama, apalagi bersifat pinjaman kepada
Tiongkok. Demikian diungkap Ecky di Jakarta, Senin (27/4/2015).
Ecky mengambil perumpamaan hal yang dilakukan Pemerintahan Jokowi
sebagai, keluar dari mulut Barat, masuk ke mulut Tiongkok. Ia punya
alasan kuat mengapa pemerintah harus berhati-hati menjalin kerjasama
dengan Tiongkok.
“Jangan sampai terulang pengalaman buruk seperti proyek pembangunan pembangkit listrik Fast Track Program (FTP)
10.000 MW tahap pertama. Faktor kapasitas dari proyek tersebut sangat
rendah, hanya 35-50 persen, seperti yang dilaporkan pejabat Bappenas,”
ujar Ecky.
Ia juga menunjuk kasus pembelian bus TransJakarta karatan dari Tiongkok yang kasusnya kini masih mengendap.
“Pemerintah harus belajar dari pengalaman tersebut dengan memperbaiki
syarat dan ketentuan kontrak, serta melakukan pengawasan yang ketat
dalam eksekusinya,” tegas Ecky yang memiliki latar belakang sebagai
auditor ini.
Seperti diketahui bersama, peringatan KAA kemarin menjadi momentum
bagi penguatan kerjasama bilateral antara pemerintah RI dengan Tiongkok.
Pertemuan Jokowi dengan Xi Jinping di sela-sela KAA memastikan bahwa
Tiongkok akan dapat “jatah” proyek infrastruktur, antara lain
pembangunan 24 pelabuhan dan 15 bandar udara, pembangunan jalan
sepanjang 1.000 km, pembangunan rel kereta api sepanjang 8.700 km, serta
pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW.
Selain itu, Tiongkok juga akan terlibat dalam pembangunan jalur kereta supercepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.
“Pemerintah harus hati-hati dalam kerjasama pembangunan infrastruktur
dengan Tiongkok, jangan sampai pengalaman buruk di bidang infrastruktur
dengan Tiongkok terulang lagi. Ingat juga kasus proyek pembangunan
pembangkit listrik Fast Track Program,” ujar Ecky.
Ecky juga menambahkan bahwa pada dasarnya dalam kerjasama kedua pihak
memiliki kepentingan yang sama besarnya, sehingga semestinya bargaining position kita tidak boleh lemah di hadapan mereka.
“Ingat, itu utang yang harus dibayar oleh anak cucu kita. Sedangkan
mereka tidak mau memberi utang tanpa dapat keuntungan melalui
proyek-proyeknya. Celaka jika kita berutang tapi barang yang diberikan
buruk kualitasnya, sedangkan barang itu diharapkan yang akan mendongkrak
pendapatan kita. Apalagi kalau pengelolaannya tidak benar malah bisa
jadi bancakan. Mau bayar pakai apa nanti?” kata Ecky.
Menurut Ecky, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi prioritas
pemerintah dalam kesepakatan kerjasama ini. Pertama memastikan kualitas
dan ketepatan waktu proyek tersebut.
Kedua, memastikan penyerapan tenaga kerja dan tingkat kandungan dalam
negeri semaksimal mungkin. Ketiga, memastikan transfer teknologi dan
pengetahuan terjadi agar jangan sampai kita tergantung pada mereka terus
ke depannya.
“Percuma teriak-teriak singkirkan bohir yang lama jika kita malah merapat ke bohir yang baru,” pungkas Ecky.