MENATA HATI,MENUNTUN NURANI,MEMANTAPKAN TEKAT,BERJUANG UNTUK ALLAH,NABIULLAH,ISLAM,BANGSA,DAN NEGARA (by komando pasukan mujahidin fisabilillah indonesia(KOMPAMUSADA) )
Translate
Senin, 20 April 2015
Nativisasi Dinilai Penyelewengan Sejarah Indonesia
SEKOLAH Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL telah memasuki perkuliahan ketujuh. Perkuliahan yang digelar pada 16 April 2015 tersebut berlangsung di kantor Rumah Shynergy di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Mengambil tema “Nativisasi”, narasumber yang dihadirkan adalah Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum., kandidat Doktor Sejarah UI dan peneliti INSISTS.
Menurut Tiar, tantangan dakwah Islam terbagi menjadi tiga macam. Pertama, tantangan pemikiran yang datang dari agama-agama luar secara langsung kepada Islam, terutama dalam konteks tantangan Islam di Indonesia yang paling semangat menyerang Islam berasal dari Kristen dengan agenda Kristenisasinya.
Kedua, tantangan dakwah Islam yang selanjutnya yaitu adalah tantangan sekularisasi yang dibawa oleh Barat sejak jaman kolonialisme.
“Adapun tantangan dakwah Islam yang terakhir yaitu tantangan nativisasi. Nativisasi adalah usaha-usaha untuk mengembalikkan pemikiran-pemikiran orang Indonesia kepada sesuatu yang dianggap ‘native’ atau ‘asli’, dan usaha-usaha dari nativisasi terwujud sebagai Hinduisasi,” ujar Tiar membuka materi kuliah dengan penuh semangat.
Nativisasi atau Hinduisasi dilakukan melalui pengajaran dan penulisan sejarah di Indonesia. Pada zaman kolonial sudah dimulai penulisan sejarah dalam buku The History of Java yang ditulis oleh Thomas Stanford Raffles, seorang Gubernur Jenderal di Jawa.
Dalam buku tersebut, lanjut Tiar, upaya mendiskreditkan Islam sangat terlihat. Raffles adalah seorang orientalis pertama yang mengembangkan teori bahwa Hindu adalah akar dari Jawa.
“Oleh karena itu, Raffles mempelopori ekskavasi candi-candi yang sudah terkubur di tanah Jawa, seperti Borobudur, Prambanan dan Panataran,” ungkap pria yang juga merupakan Ketua PP Pemuda PERSIS.
Di samping itu, imbuh Tiar, ada buku The History of Sumatera yang ditulis oleh William Marsden pada tahun 1783. Pandangan Marsden dalam buku tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan Raffles dalam buku karyanya, yaitu pandangan yang menyudutkan agama khususnya Islam.
Namun, sambung Tiar, dikarenakan bahasannya bukan lagi wilayah Jawa, maka teori yang dilakukan Marsden adalah membenturkan antara adat dan agama Islam.
“Marsden mengatakan bahwa yang termasuk adat adalah tidak sesuai dengan agama dan sebaliknya. Pada akhirnya, dalam buku Marsden tersebut, disimpulkan bahwa adat adalah karakter dasar masyarakat Sumatera, dan aslinya, masyarakat Sumatera bukan berkarakter Islam,” ujar Tiar.
Selain kedua orientalis tersebut, kontribusi Snouck Hurgronje juga tak mungkin diabaikan. Ia adalah seorang orientalis Belanda yang berpura-pura masuk Islam dan menulis buku berjudul Het Mekansche Festival atau Festival Mekkah.
“Kita semua mengenal Ibadah Haji, tapi dia justru menyebutnya ‘Festival Mekkah’,” tandas Tiar.
Di akhir perkuliahan, Tiar mengkritisi Candi Borubudur, yang menjadi ikon Indonesia. “Masjid tidak menjadi ikon atau simbol Indonesia, karena di Indonesia pemahaman sejarah sudah diambil orang lain dan diselewengkan, sehingga Islam dijauhkan dan dicari-carilah yang ‘native’, yaitu yang bukan Islam,” pungkasnya