KETIKA George Bush pertama kali memasuki Gedung Putih sebagai
Komandan Nomor Satu AS pada tahun 2001, orang-orang Palestina tengah
meregang nyawa dalam aksi infitifadhah al-Aqsha. Delapan tahun kemudian,
ketika Bush akan meninggalkan Gedung Putih, hal yang serupa terjadi:
orang-orang Palestina kembali tewas sebagai tebusan agresi keji yang
dilancarkan Israel, pelakunya masih sama selama 60 tahun terakhir ini,
yaitu Israel. Dan, AS, dari dulu sampai sekarang, tetap pada
pendiriannya, mendukung Israel dengan segala argumennya.
Jelas sudah Israel berharap bahwa Palestina akan menerima penjajahan
Israel—mengingat sekarang Palestina sudah kehilangan lebih dari separuh
fungsi sosialnya. Tetapi, jika Palestina berusaha melawan, seperti yang
kini ditunjukan oleh Hamas, negara Yahudi itu akan kembali babak belur.
Israel harus belajar bahwa kekuatan militer tak akan pernah bisa
menghentikan gerakan perlawanan dunia Islam, dalam hal sekarang ini,
Palestina. Atau tepatnya, Gaza.
Faktor Media
Sementara militer Israel khusyuk membombardir 1.5 juta penduduk Gaza
dua kali di akhir tahun 2009 dan 2012, media menyaksikan sebuah dilema
simalakama—karena di satu sisi mereka terluka mengabarkan semua itu,
namun di sisi lainnya, mereka juga berusaha mencari-cari pembenaran atas
ulah sang agresor barbar itu.
Tapi, tak ada yang mengejutkan dalam hal ini; orang-orang Israel
sudah memperkirakan semua opini media massa terhadap aksinya, juga
karena yang terpenting, Israel sudah jauh-jauh hari (selama enam bulan
lebih) membuat kerja sama dengan negara-negara Arab.
Beredar sebuah pertanyaan di kalangan pers AS; apakah sebuah
terorisme atau agresi terhadap penduduk sipil bisa dibenarkan?
Jawabannya jelas tidak sama dengan kejadian 150 tahun lalu ketika Yahudi
dibantai Nazi Jerman—dibandingkan dengan orang-orang Palestina sekarang
ini. Negara-negara yang kuat secara militer seperti Israel, AS, Rusia,
Cina selalu menyebut korban perjuangan sebagai teroris.
Tapi negara-negara ini gagal mengenali jenis teror yang terjadi di
Chechnya, penyembelihan Palestina, represi Tibet dan pendudukan AS atas
Iraq dan Afghanistan. negara-negara adidaya, selalu seperti biasanya
jumawa dalam mendefinisikan semua arti perlawanan; yang mereka beri
label dalam satu stigma—teroris. Dan media-media yang ada sekarang, apa
lacur, dipunyai oleh mereka, dan media-media ini lah yang menyebarkan
stigma dan citra itu ke seluruh penjuru dunia.
Perlawanan setengah hati
Para negara kolonial selalu menggunakan cara licik yang sama selama
berabad-abad dalam menaklukan sebuah wilayah yang alot untuk ditaklukan;
mereka menyerang penduduk sipil terlebih dahulu. Ini akan membuat semua
elemen pembela tanah yang bersangkutan menjadi patah arah, putus asa
dan merasa membentur tembok besar ketika harus konsisten melakukan
perlawanan.
Hal inilah yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang-orang
Palestina terhadap Israel, sebuah perbedaan yang jauh sekali jika
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Israel yang tak punya rasa
malu.
PLO, kemudian Hamas
Tahun 1948, ketika Israel sekonyong-konyong tanpa alasan yang jelas
mendirikan sebuah negara di Palestina, 750.000 rakyat Palestina diusir
dari rumahnya, dan ratusan rumah dibumihanguskan. Tanah Palestina
diklaim milikinya sampai hari ini.
Sebaliknya, Palestinian Liberation Organization (PLO) yang terus
digerogoti dan dijadikan mitra dalam merebut Palestina sepenuhnya, terus
dijanjikan kekuasaan dan kebebasan bagi rakyat Palestina. Inilah yang
membuat PLO menjadi melempem, dan malah kemudian tidak punya daya lawan
apapun terhadap Israel di kemudian hari. Bahkan banyak memberi jalan
kepada Israel untuk meneruskan penjajahannya dengan kemudahan kelas
atas.
Ketika PLO sudah jinak, fokus Israel beralih pada Hamas. Hamas
memenangkan pemilu legislatif tiga tahun lalu, karenanya Israel sadar
betul, bahwa Hamas lah sebenarnya sasaran tembak untuk mendapatkan
seluruh pendudukan Palestina. Dengan cara memberlakukan embargo pada
Palestina dan mengizinkan Israel menjejakan kakinya di Gaza, dunia telah
mengatakan pada rakyat Palestina dengan kebohongan paling besar dalam
sejarah, bahwa Hamas tidak sehat untuk demokrasi Palestina.
Akibatnya, tanpa disadari oleh rakyat Palestina sendiri, mereka
kemudian terjebak dalam kenyataan bahwa bukan hanya Hamas yang menjadi
korban isolasi atau pengasingan dunia. Tetapi rakyat Palestina pun
menjadi pesakitan. Kondisi ini semakin menjadi-jadi ketika Israel
menggempur semua infrastuktur yang dimiliki oleh Palestina.
Israel, tak pelak dan tak sungkan, menghabisi semua yang ada di
Palestina, polisi, rakyat, bahkan pejabat PLO sendiri yang menghamba
padanya.
Kebijakan Gagal
Dalam 60 tahun terakhir, para pemimpin Israel telah menggarisbawahi
bahwa satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh orang Arab adalah
kekerasan. Padahal, kenyataan sebenarnya, Israel lah yang rutin
menjadikan kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Tahun 2002, Liga Arab
di Beirut dalam pertemuannya menawarkan Israel sebuah gagasan untuk
mengakhiri tumpahan darah dan perjanjian damai. Israel menjawabnya
dengan mengagresi Jenin dan membunuh ratusan orang di sana. Bulan lalu,
Fatah meluncurkan kampanye media mengingatkan resolusi 2002, tapi
dijawab dengan aksi brutal yang eksrem.
Kesimpulannya adalah Zionis Israel tidak lagi punya proyeksi yang
panjang. Selanjutnya, hanya akan ada satu negara saja dalam sejarah
Palestina. Dalam dekade mendatang, Israel akan berkonfrontasi dengan
sebuah pertanyaan mendasar: sejarah penjajahan hanya akan bekerja jika
penduduk asli ditumpas habis.
Tapi sering, seperti yang terjadi di Aljazair, yang bertahan adalah
mereka yang memiliki tanah aslinya. Dan Palestina tidak akan pernah rela
untuk berkompromi dengan Israel. Juga tidak akan pernah menerima Israel
berada dalam wilayah jengkal tanahnya. Mengaggresi Palestina sekarang
ini, kolonial Israel akan segera menyerah dan angkat kaki dari bumi
Palestina.