Hanya saja, hingga saat ini masih banyak
terjadi kerancuan dalam masyarakat dalam permasalahan terkait
pemberontak Al Hautsi (Syiah al-Houthi). Siapakah mereka? Apakah mereka
termasuk kelompok Zaidiyah? atau Syiah? Maka saya sampaikan tulisan
ringkas ini, semoga bisa memberikan pencerahan tentang hakikat mereka.
Sebagaimana diketahui bahwasanya dahulu
Zaidiyah merupakan mazhab mayoritas sebelum revolusi rakyat Yaman
menetapkan untuk menghidupkan kembali ijtihad Imam As-Syaukani yang
lebih dekat kepada mazhab Ahlus Sunnah, dan sebelum persatuan Yaman
berkontribusi dalam penyebaran Mazhab Syafi’i.
Mazhab Zaidiyah dinisbatkan kepada
seseorang dari yang bernama Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin
Ali rahimahumullah. Zaid ini membelot dari rezim Hisyam bin Abdul Malik
penguasa Dinasti Umayyah dengan bujukan dari penduduk Kufah (syiah).
Ketika mereka mengetahui bahwasanya Zaid tidak mengkafirkan Abu Bakar
dan Umar, serta tidak menghina para sahabat, mereka menghinanya dan
menolaknya, kemudian Zaid tewas dalam salah satu pertempuran melawan
pasukan Hisyam.
Di dalam kitabnya -Siyar A’laminnubala-
Imam Adz Dzahabi meriwayatkan bahwasanya suatu hari Zaid didatangi oleh
sekelompok orang dari Kufah, sepulangnya ia dari bertemu dengan penguasa
Iraq, Yusuf bin Umar, yang merupakan orangnya Hisyam. Lalu mereka
-orang-orang Kufah- berkata: “Wahai Zaid, kembalilah maka kami pasti
membaiatmu, Yusuf bukanlah siapa-siapa”. Ia pun menuruti perkataan
mereka, dan bersiap perang (melawan Yusuf).
Diriwayatkan pula dari Isa bin Yunus,
beliau berkata: sekelompok Syiah Rafidhah mendatangi Zaid kemudian
berkata, “Berlepas dirilah engkau dari Abu Bakar dan Umar agar kami
menolongmu”. Maka Zaid menjawab, “Tidak akan, bahkan aku berwala’ kepada mereka”. Kemudian kaum Rafidhah tersebut berkata, “Kalau begitu kami menolakmu (رفض)”. Sejak saat itulah mereka disebut Rafidhah. Adapun Zaidiyah mengikuti perkataannya dan berperang bersamanya.
Sekte Zaidiyah ini telah lama mengakar di
Yaman semenjak Yahya Hamiduddin sukses memisahkan Yaman dari kekuasaan
Turki, dan mendirikan negara Zaidiyah hingga tahun 1962 di saat
meletusnya revolusi Yaman, dan di saat itu pula berakhir kekuasaan
Zaidiyah di Yaman, walaupun hingga saat ini eksistensi mereka tetap
kuat.
Mayoritas Zaidiyah mengakui keabsahan Khilafah Abu Bakar dan Umar serta tidak melaknat mereka, bahkan mereka ber-taraddhi
(mendoakan keridhaan Allah) bagi mereka dan mengakui keabsahan Khilafah
Utsman terlepas dari beberapa hal yang mereka anggap kesalahan yang
melekat dalam diri Utsman.
Secara garis besar Zaidiyah memiliki
kesamaan dengan Ahlus Sunnah dalam masalah ibadah dan
kewajiban-kewajiban, kecuali beberapa hal kecil dalam masalah furu’.
Mereka tidak meyakini adanya Imam Mahdi
yang ditunggu kedatangannya, dan mereka juga tidak meyakini bahwasanya
para imam terbebas dari dosa sebagaimana yang diyakini Syiah. Di
kalangan Zaidiyah sendiri mucul banyak ulama besar yang kemudian mereka
menjadi bagian Ahlus Sunnah seperti: Ibnul Wazir, As Syaukani, dan As
Shan’ani.
Tidak ada satupun dari kelompok Zaidiyah
ini yang menyimpang kecuali 3 kelompok, dan mereka saat ini hampir
hilang eksistensinya; Al Jarudiyyah, As Solihiyyah, dan Al Batriyyah.
Ketiga kelompok ini dalam akidahnya lebih condong kepada sekte Syiah 12
Imam (Itsna ‘Asyariyyah), khususnya Al Jarudiyyah yang kelompok
ini dinisbatkan kepada Abu Aljarud Al Hamadzani, yang disebutkan
tentang dirinya bahwa dia mati karena minum khamr (minuman keras).
Nah, dari Jarudiyah inilah muncul Al
Hautsi (atau juga Syiah Al Houthi) yang saat ini melakukan pemberontakan
di Yaman. Kemudian mereka menambah-nambahi dalam agama secara
berlebihan (ghuluw) dan bidah, sehingga tak ada sedikitpun
hubungan antara Al Hautsi dengan Zaidiyah. Oleh karena itu adalah suatu
kesalahan apabila memikulkan tanggungjawab kepada madzhab Zaidiyah dan
menuduh mereka dalang pemikiran dibalik aksi para Al Hautsi (Al Houthi).
Al Hautsi (Al Houthi) yang ada di zaman
sekarang dinisbatkan kepada seseorang yang bernama Badruddin Al Hautsi
yang sudah wafat sejak 4 tahun yang lalu dan pada awalnya dia
memunculkan pemikiran-pemikiran Al Jarudiyah yang sesat dan
menggabungkan pemikiran-pemikiran tersebut dengan beberapa pemikiran
Syiah Imamiyah. Karena hal tersebut terjadilah perselisihan antara
Badruddin dengan para ulama Zaidiyah yang menyebabkan dia melarikan diri
ke Iran dan hidup di sana beberapa lama, sambil menimba ilmu-ilmu sesat
dari Syiah Imamiyah, kemudian dia kembali ke Yaman pada tahun 2002
untuk menyebarkan pemikiran yang ia dapat dari Iran, antara lain; bahwa
para sahabat terlaknat dan mereka telah kafir, wajibnya menerapkan khumus
(pungutan 1/5 harta untuk ahlul bait/imam), dan hal-hal lainnya yang
sesuai dengan ajaran Syiah Imamiyah. Mereka juga mengirim para pemuda
Sha’adah (basis mereka) untuk belajar di Kota Qom dan Najaf.Para keturunan Badruddin inilah yang sekarang menjadi para pemimpin kelompok Al Hautsi (Al Houthi) dalam melawan pemerintah Yaman dan koalisi pimpinan Saudi. Badruddin Al Hautsi adalah penyeru paham Syiah, dan anaknya yang bernama Husain merupakan pendiri sesungguhnya Harakah Syabab Mu’min (cikal bakal dari tanzim angkatan bersenjata Al-Hautsi yang lebih dikenal saat ini sebagai Harakah Ansarullah) dan anaknya yang kedua yang bernama Abdul Malik inilah yang merupakan pemimpin pasukan mereka dalam perang yang terjadi saat ini yang banyak disiarkan di berbagai media massa. Husain telah terbunuh 10 tahun lalu oleh pasukan Yaman, sedangkan sang ayah telah mati 4 tahun yang lalu, dan tersisa hingga saat ini sang anak – Abdul Malik- yang terus menerus menyebarkan kerusakan di muka bumi